Sepatutnya kita bersyukur kehadirat Allah swt, yang telah melahirkan kita di Negara berpenduduk agama Islam, sekaliber terbesar di jagad dunia, yaitu Negara Indonesia . Negara yang relatif stabil dalam hal politik dan keamanan, hanya sebagian kecil konflik muncul ke permukaan dari luasnya wilayah Negara ini, itupun dalam teritorial daerah ataupun kesukuan, tidak dalam teritorial Negara keseluruhan. Kita ini beruntung, bisa saja Allah swt berkehendak melahirkan kita di Negara yang rawan konflik antarmanusia, antarnegara. Kita tidak perlu risau memikirkan rudal Israel yang kapan saja bisa mengenai pemukiman warga Palestina. Kita seharusnya bisa lebih khusyuk beribadah sebagai muslim, ketika di lain waktu dan tempat muslim Amerika Serikat dan pula Perancis menghadapi tantangan isu islamophobia. Bahkan bisa saja, perjuangan kita dalam mengaplikasikan kehidupan sebagai muslim masih kalah jauh dari perjuangan muslim Xinjiang di Cina, menetap di daerah terpelosok sebagai minoritas, dan menjalani kehidupan dibawah tekanan pengusiran dari pemerintah dibalik kepentingan ekonomi, karena tanah Xinjiang terkenal kaya akan sumber minyak bumi.
Kejadian-kejadian tersebut dapat menjadi sebuah cerminan mendalam bagi Negara Indonesia dengan penduduk berkeyakinan muslim terbesar di jagad dunia. Justru ditengah desingan peluru dan bombardir rudal Israel , warga Palestina baik itu di bagian Tepi Barat ataupun di bagian Jalur Gaza , dapat menghimpun kekuatan untuk mencounterattack serangan-serangan tentara Israel . Jangan ditanya, mereka berani mengorbankan tubuhnya berhadapan dengan tank sekaligus, atau hanya menggunakan senjata katapel berpelurukan batu, dengan alasan kuat ingin menyelamatkan masjid Al-Quds dan pemukiman warga. Tentunya bukan aksi seheroik itu yang kita lihat, melainkan sebuah hikmah dimana sebagai seorang muslim bukanlah sebagai identitas semata, melainkan memvisualisasikan nilai-nilai muslim dalam kehidupannya. Karena Muslim Palestina sadar, mereka tidak ingin hidup terjajah, mereka ingin hidup merdeka dan mandiri terutama dalam membangun negaranya.
Hikmah lain barangkali, yang lebih mengedepankan perjuangan intelektual dan kaderisasi berbasis komunitas agama, dalam hal ini komunitas muslim di Amerika Serikat. Sudah menjadi rahasia umum dimana negara Amerika Serikat adalah negara yang lebih mengedepankan nilai-nilai kebebasan di segala aspek kehidupan, dari mulai politik, ekonomi, keprofesian, sampai pada pergaulan. Namun dalam kondisi seperti itu, ditambah lagi dengan pencapan terorisme dan isu islamophobia, muslim Amerika Serikat justru tumbuh, hal itu bisa dilihat dari mulai banyak berdirinya masjid-masjid di pusat-pusat kota sebagai tanda keberadaan komunitas muslim, kemudian muslim Amerika Serikat sudah pula berpartisipasi politik di berbagai wilayah dari negara-negara bagian yang ada, dan bahkan yang lebih mengejutkan adalah didirikannya sebuah masjid di ground zero, notabene tempat bekas terjadinya tragedi 9/11. Hikmah besar tentunya, mereka tidaklah minder menjadi seorang muslim, justru dengan keyakinannya sebagai seorang muslim mereka menjadi basis kekuatan baru yang mengedepankan agama sebagai dasar muamalah (interaksi) mereka. Ada lagi, mereka tetap fokus untuk terus tumbuh berkembang, padahal tantangan yang dihadapi begitu besar, namun dengan begitu mereka terbukti ada dan tumbuh berkembang di negara penganut paham liberalisme nomor wahid dunia.
Lalu, jikalau kita kontekskan dinamika kehidupan seorang muslim barusan diatas dari skala terbesar ke skala terkecil, seperti kampus misalnya, tentunya menarik untuk dibahas. Kampus terkenal dengan istilah miniatur negara. Negara Indonesia memiliki karakteristik multikultural masyarakatnya, dengan begitu kampuspun memiliki heterogenitas dari mahasiswa-mahasiswanya, yakni dalam agama dan suku. Inilah yang menjadi kampus-kampus di Indonesia spesial, yakni tempat bertemunya insan-insan muda dari berbagai penjuru negeri dengan membawa agama dan sukunya masing-masing, untuk sama-sama dalam menimba ilmu dan sama-sama belajar berorganisasi. Dari situlah kemudian muncul sebuah kompetisi antarmahasiswa untuk menjadi yang terunggul.
Mereka ibarat memasuki sebuah laboratorium dari negara, mereka mempelajari teori-teori, memperbanyak contoh kasus, dan menganalisis penyebab permasalahan-permasalahan untuk kemudian menemukan ide atau tawaran solusi dari permasalahan. Setelah itu, untuk mencoba dan mengaplikasikan hasil riset mereka sendiri di laboratorium negara, kemudian mereka akan memasuki lapangan observasinya yaitu organisasi kemahasiswaan. Berbagai ide, inovasi, dan kreatifitas mulai mereka sodorkan untuk membangun impian-impiannya. Namun seketika, benturan-benturanpun terjadi. Inilah yang dimaksud dengan benturan kepentingan. Tetapi berangkat dari hal itu, perlahan-lahan mereka belajar arti kata kearifan, sportivitas, profesionalisme, kebijaksanaan, kepentingan bersama, pembelajaran bersama, kerjasama, supporting dan menjadi insan solusi. Inilah kampus sebagai miniatur negara. Tempat penggodokan insan-insan muda sebelum terjun ke negara sesungguhnya yang lapangannya adalah masyarakat. Namun tersemat dua kata, mengapa ditengah dinamika dan perbenturan yang ada, persahabatan dan profesionalisme mereka diusahakan betul-betul dijaga? Karena mereka berbekal sebagai kaum intelektual. Bekal intelektual.
Lalu dimana keberadaan dan peran dari seorang muslim, dalam hal ini mahasiswa-mahasiswa muslim di kampus? Di dalam Islam, kita mengenal sebuah kata ukhuwah, dalam Bahasa Indonesianya berarti persaudaraan. Seringkali kita terjebak pada batasan-batasan kita sendiri sebagai mahasiswa-mahasiswa muslim. Jikalau boleh menebak, permasalahan terbesar dari kaum muslim saat ini adalah selalu memandang dalam proporsi sempit sebuah perbedaan dan mentolerir diri untuk mencari-cari kekurangan-kekurangan sesama muslim. Disinilah peran sebagai mahasiswa muslim dibutuhkan keberadaannya, dimana selalu mendukung aktivitas-aktivitas penuh kemajuan dan kebaikan, namun penuh tanggung jawab sebagai mahasiswa muslim seutuhnya. Artinya, mahasiswa muslim yang dapat mengedepankan bekal intelektual sebagai dasar muamalahnya, dan yang dapat mengedepankan bekal ukhuwah untuk selalu mendukung aktivitas penuh kemajuan dan kebaikan. Otomatis, sedikit demi sedikit hal itu dapat mengikis problem dari dalam dan luar antarmuslim, baik skala kecil sampai besar.
Tadi sedikit pengantar, harapannya kita dapat memahami keberadaan kita seutuhnya sebagai seorang muslim, dalam hal ini mahasiswa muslim. Mahasiswa yang mengedepankan bekal intelektual untuk membaca zaman dan keluar dari usia keusangan, sehingga bermetamorfosa dan bertransformasi menjadi mahasiswa-mahasiswa yang mempunyai berbagai tawaran solusi dan ide kreatif sehingga gagasan-gagasannya sejalan dengan yang dibutuhkan saat ini. Kemudian, mahasiswa yang mengedepankan bekal ukhuwah di dalam proses muamalahnya yakni saling mendukung perseberan gagasan-gagasan kemajuan dan kebaikan dengan cita-cita menemukan format ideal menuju kampus sebagai lumbung insan-insan pembaharu negara dan menuju kampus sebagai miniatur peradaban negara.
Dari tulisan ini pula, saya pribadi mewakili teman-teman Unit Kerohanian Islam FISIP (UKI FISIP) khususnya dari Lembaga Semi Otonom (LSO) Media, ingin melaunching media mading pertama di awal tahun kepengurusan. Kami semua menyadari, sekarang adalah zaman media, manusia lebih memilih proses input informasi yang lebih praktis untuk keperluan berbagai informasi. Berangkat dari hal itu, kami berfikir mengapa dakwah tidak memanfaatkan keberadaan media, inilah kemudian yang kami sebut sebagai membaca zaman. Akhirnya setelah proses yang dijalani, dengan semangat dan ketekunan, LSO Media dapat menerbitkan media mading pertama ini dan akan berkala dalam penerbitannya, dengan harapan media mading ini menjadi teman bacaan sewaktu istirahat dari aktivitas perkuliahan dan lainnya. Dan semoga dapat menjadi charge ruhiyah (ruh jiwa) kita sebagai seorang muslim, untuk kemudian setahap demi setahap memandu kita mengaplikasikannya dalam kehidupan. Amin.
Selamat menikmati. Salam sedekat sahabat, berbagi informasi. Dan sebelum mengakhiri izinkan kami menyerukan salam persaudaraan dari UKI FISIP: ”UKI FISIP UNSOED?! We can be better, Allahu Akbar!”.
Muhammad Aditya (Ketua Umum UKI FISIP Periode 2011)
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed sks 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar