Ada benarnya ketika penulis buku Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Gramedia, 2007) yaitu Ahmad Suhelmi, menyampaikan pendapatanya tentang pemikiran Karl Marx bahwa agama adalah candu masyarakat dan sumber dari adanya perbedaan kelas-kelas sosial, yakni dalam membaca pandangan Marx kita perlu memahami psikologinya. Maksudnya adalah sebagai seorang kritis dari trauma psikologisnya terhadap sejarah gereja Abad Pertengahan, antipati dan sinisme Marx terhadap agama tidak lain merupakan perlawanannya terhadap penyimpangan kekuasaan gereja, seperti eksploitasi agama untuk kepentingan kekuasaan dan maupun pembantaian massal atas nama Tuhan dan gereja oleh inkuisisi. Menurutnya, trauma psikologis ini yang membentuk gagasan Marx tentang agama.
Dalam tataran ini saya sependapat dengan apa yang diargumenkan oleh saudara Ahmad Suhelmi. Karena secara maklum, pemikiran atau gagasan seseorang tentang sesuatu hal pasti dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya. Namun, yang lantas saya ingin kritisi adalah, tesis Marx tentang agama itu sendiri dan jikalau kemudian para pelanjut pemikir Marx atau yang disebut Kaum Marxis mengeneralisasikan hipotesa Marx bahwa agama adalah candu masyarakat adalah berlaku bagi semua agama. Saya katakan dengan tegas, itu tidaklah berlaku sama sekali. Dalam pembahasannya nanti saya akan kemukakan pandangan kritis saya dari sudut pandang Islam –salah satu sebagai agama di dunia-, dan juga menukil beberapa pendapat dari cendekiawan muslim tentang Marxisme yaitu Prof. Dr. Yusuf Qaradhawi.
Pembahasan ini akan saya awali dengan cita-cita Karl Marx yakni ingin membentuk sebuah sistem sosialisme komunisme dalam masyarakat, yang akan dicapainya dengan jalan perjuangan revolusioner sosialisme. Jalan tersebut mengabsahkan bahwa telah terjadi sebuah ketimpangan dalam kehidupan masyarakat dimana terdapat kelas-kelas dalam sistem kehidupan masyarakat, lebih tepatnya dalam sistem ekonomi. Marx berpendapat ada dua kelas dalam sistem masyarakat yakni penguasa/pemodal (borjuasi) dan kelas kaum buruh dan kaum tani (proletariat). Esensi dari sosialisme itu sendiri adalah pemerataan dari segi kepemilikan/aset harta masyarakat, asumsinya agar keadilan tercipta. Maka jalan satu-satunya untuk menentang perbedaan kelas ini dan mewujudkan cita-cita sosialisme adalah melakukan jalan revolusi, menghasut masyarakat lainnya untuk sejalan, menghancurkan kelas borjuasi, merebut harta kekayaannya, dan membatasi kepemilikan harta mereka.
Sudah jelas pembatasan pembahasan masalah ini, yakni pembahasan kepada kritik untuk tesis Marx dan generalisasi Kaum Marxis bahwa agama itu candu masyarakat yang berlaku bagi semua agama dan kritik terhadap anggapan Marx bahwa sistem ekonomi kapitalis terbentuk karena salah satu suprasturkturnya adalah agama, sehingga menjadi semacam dalil-dalil kuat untuk pelaksanaan sistem ekonomi ala kapitalis ini. Semua itu sebenarnya adalah dasar hakiki argumen-argumen menuju paham-paham sekuleritas, pemisahan antara sistem yang mengatur masyarakat dengan agama. Tidaklah demikian, agama adalah fitrah (pemberian/kehendak misi manusia dari Tuhan). Agama adalah pandanan hidup yang dapat mengatur antara manusia-manusia itu sendiri. Maka dari pembahasan ini saya katakan lagi, tidaklah saya mengkritik dalam tataran dimana kehidupan Marx berasal, dari lingkungan apa dia terbentuk, tetapi lebih kepada tawaran-tawaran argumen dari salah satu agama di dunia yakni Islam, terhadap rapuhnya dasar argumen Marx tentang hakikat agama.
Agama adalah candu masyarakat. Ada yang lupa dalam proses pembentukan-pembentukan argumen Marx tentang agama. Marx tidak memperhatikan sejarah, Marx mengalpakan asal-usul sejarah. Dunia ini adalah sebuah kehidupan, dunia diisi oleh kumpulan-kumpulan manusia yang kemudian disebut sebagai masyarakat, terdapat sebuah pengaturan yang mengikat kehidupan masyarakat tersebut, bukan sebuah pengekangan namun sebuah ketertiban dan adab, dan itulah yang kemudian kita sebut sebagai agama. Dunia, dan bisa saja Marx mengetahui bahwa terdapat tiga agama yang turun langsung dari Tuhan, yaitu agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ketiga agama tersebut disebut agama samawi dan turun secara berurutan, dan yang terakhir adalah yang menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya, agama hakiki. Selain mengalpakan asal-usul sejarah, Marxpun membawa dirinya pada apa yang disebut dengan paham Atheisme –paham tidak percaya adanya Tuhan-, tidak mempercayai agama berarti tidak mempercayai Tuhan. Sebuah paham yang muncul dari tokoh yang katanya menyerukan teori evolusi yakni Charles Darwin, menyebutkan bahwa asal-usul manusia adalah bukan karena adanya penciptaan, melainkan adanya sebuah evolusi yang berkembang secara terus-menerus, berabad-abad waktunya. Contoh jelasnya adalah menyebutkan bahwa asal-usul manusia adalah kera. Selain itu, Marxpun terlalu skeptis memandang bahwa agama tidak memiliki ajaran-ajaran untuk mengatur masyarakat dan lebih sekedar bahwa agama adalah alat produk keabsahan diktatornya sebuah negara (pembahasan berikutnya). Adakah Marx tidak memperhatikan sejarah, bahwa dengan agama Islam, seseorang yang tidak bisa membaca awalnya dan berasal dari keluarga pas-pasan, ternyata bisa bertransformasi menjadi pemimpin yang ditaati, membangun peradaban dari hal-hal kecil, bahkan sembunyi-sembunyi, dan sederhana, serta dapat membangun sebuah daulah (negara) dengan masyarakat-masyarakatnya yang benar-benar memegang teguh ajaran Islam dalam kehidupannya, kesehariannya, terbukti peradaban tersebut adil dan sejahtera, atau istilah modernnya adalah mencapai negara civil society maupun walfare state. Apakah karena dia seorang Nabi? Tidaklah demikian. Tidakkah memperhatikan, ajaran-ajaran dari kitab-kitab terdahulu bahwa terdapat banyak kisah dan pengajaran bagi umat-umat berikutnya? Yang dimana umat-umat tersebut tidak memperdulikan hakikat kehidupannya di dunia, tidak melihat alias buta terhadap ajaran-ajaran selamat yang datang silih berganti melalui utusan-utusan Tuhan, yakni nabi-nabi? Namun, sayangnya mereka lebih mengedepankan pemenuhan nafsunya. Sehingga sampailah pada utusan terakhir, dan jelas sungguh sudahlah jelas bahwa agama merupakan pedoman berkehidupan dalam membangun dan menata masyarakat.
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...’” (al-baqoroh: 30)
”Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”(adz-dzaariyaat: 56)
Agama adalah pembentuk kelas-kelas sosial dan alat keabsahan sistem ekonomi kapitalis. Dalam bukunya Ahmad Suhelmi menuturkan tentang pendapat Marx barusan, bahwa Marx berpendapat, negara sebagai alat penindas menggunakan agama demi kepentingan mempertahankan kekuasaan. Agama digunakan oleh negara agar rakyat tetap terlena dan tidak berontak dan selalu patuh kepada penguasa negara. Itulah fungsi eksploitatif agama. Marx menunjukkan fakta-fakta sejarah yang membenarkan pandangannya itu. Ketika agama (Kristen) berkuasa di abad-abad pertengahan, prinsip-prinsip sosial Kristen dijadikan alat pembenaran perbudakan, agama mensucikan perbudakan itu dan mempertahankan keberlangsungan penindasan terhadap kelas proletariat. Bagi Marx, agama merupakan nilai-nilai yang membelenggu manusia dan mustahil memiliki semangat pembebasan manusia.
Menurut Prof. Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya yang berjudul Teologi Kemiskinan, bahwa pandangan Marx dan kelompok Marxisme untuk mengentaskan kemiskinan harus dengan meniadakan kelas-kelas borjuis, melakukan pembatasan apa yang mereka miliki, melarang kepemilikan pribadi, melakukan investigasi provokatif kelas proletar untuk menyerang kelas borjuis, menciptakan pertarungan antar kelas dengan menyebarkan kedengkian dan rasa permusuhan. Maka disini, Prof. Dr. Yusuf Qaradhawi menyampaikan pandangan kritisnya dengan bersumber pada sudut pandang Islam dan Kitab Al-Qur’an, dimana setidaknya ada tiga pandangan yang dimana pandangan Marx tentang hakikat agama dan agama alat sistem ekonomi kapitalis jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran agama Islam.
Pertama, Islam tidak memperbolehkan menghancurkan kelas-kelas tertentu secara general hanya gara-gara dosa dan kesalahan satu orang dari kelas tersebut. Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri serta orang-orang yang menjadi tanggungannya. Walaupun di kalangan masyarakat ada kelompok-kelompok borjuis yang aniaya serta memiliki moral yang tidak baik, tetapi di sisi lain, masih banyak kaum borjuis lain yang mensyukuri anugerah harta tersebut dan menunaikan hak-hak Allah dan hak manusia yang ada di dalam harta mereka. Kedua, Islam mengakui adanya dasar-dasar kepemilikan harta secara pribadi. Sebab hal itu adalah sebagai upaya memenuhi dorongan atau tuntutan fitrah dasar manusia. Juga karena disitu ada dampak-dampak tersendiri dalam memajukan kehidupan sosial-masyarakat dan meningkatkan perekonomian mereka. Hal ini pula yang akan menjadi jaminan material terhadap keabadian kemerdekaan politik-sipil. Eksploitasi jahat sebagian atas kepemilikan mereka ini tidak merusak prinsip atau dasar-dasar kepemilikan itu sendiri. Sebab kerusakan yang sebenarnya ada di hati mereka. Jika hati mereka baik, maka harta kekayaan akan menjadi perantara pencapaian kebaikan. Dan Ketiga, Islam dengan tegas menolak setiap aliran-aliran yang secara terbuka berusaha menyulut permusuhan dan pertikaian antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin atau antar kelas-kelas yang ada di masyarakat. Betapa tidak, dalam Islam, rasa persaudaraan (ukhuwah) merupakan batang iman dan buah Islam. Menurut teks suci Al-Qur’an, orang-orang mukmin bersaudara. Kita bisa menyaksikan interaksi dan kerjasama yang mantap antara Abdurrahman bin ’Auf, Usman in Affan, dll (sebagai wakil kaum borjuis) dan Abu Dzar dan Bilal bin Rabah, dll (sebagai wakil kaum proletar). Sejarah tidak mencatat adanya permusuhan atau pertentangan diantara mereka. Si kaya tidak sombong dan si miskin tidak dengki atau benci. Mereka terikat dan bersatu dalam pangkuan Islam. Dan merekapun menjadi saudara seperti yang diinginkan Allah.
Jikalau lantas yang dimaksudkan Marx adalah negara memanfaatkan keberadaan atau dalil-dalil agama untuk mempertahakan kekuasaanya, maka landasan argumen yang dibangun tidaklah menyalahkan agama tersebut melainkan orang-orang yang melakukannya, yang saya kenal sebagai istilah penjahat negara. Dan apabila agama dikatakan berada dalam superstructure negara, maka saya katakan agama berada di dalam hati setiap orang untuk kemudian memvisualisasikannya dalam kenyataan hidup. Dan itu sudah terjawab dalam pandangan-pandangan yang disampaikan Prof. Dr. Yusuf Qardhawi, yang sekaligus akan mematikan atau menusnahkan pula kekhawatiran Marx terhadap sistem ekonomi kapitalis, tetapi tidak untuk pertarungan antar kelas. Bukan lantas, Islampun antipati dengan keberadaan negara, namun siapa dan bagaimana orang-orang yang menjalankan negara tersebut yang justru diperhatikan, karena di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam itu sendiri secara keseluruhan, mencakupi lapisan masyarakat, harus didukung oleh otoritas perundang-undangan dan peraturan serta peran negara.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, DEPAG, RI
Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Qaradhawi, Yusuf. 2002. Teologi Kemsikinan: Doktrin Dasar dan Solusi Islam Atas Problema Kemiskinan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar